#MyLoveStoryQuiz

Along the Winter

Dear
Kaiya Yoshizumi,

Kak dela?(1) Kuharap kau baik-baik saja. Aku menulis surat ini bertemankan guncangan emosi bercampur rindu yang meletup di hatiku. Aku membecimu, sungguh. Tapi kau tahu, seketika aku akan mati ketika aku benar-benar membencimu. Jadi, apakah kau menangkap maksudku, Kai-chan?

Aku kira aku mengenalmu. Tapi ternyata.., bahkan aku tak tahu apapun tentangmu. Hanya karena kita sering jalan bersama, kupikir aku dekat denganmu. Tapi ternyata.., semakin kita bersama, jarak di antara kita semakin terasa.

            Ini benar-benar gila. Seharusnya itu surat cinta. Seharusnya aku bisa bahagia. Tapi bagaimana bisa aku membacanya tanpa buliran bening yang menjulur dari kedua sudut mataku? Aku benar-benar tak bisa menerimanya.

***
“Apakah kau baik-baik saja?”
“Tentu.”
“Kau bisa saja membohongi semua orang, bahkan membohongi dirimu sendiri. Tapi takkan pernah kubiarkan kau membohongiku.”
Dingin. Seingatku, salju yang jatuh memborbadir negeriku tak pernah sebeku ini. Aku rindu Tokyo, juga bibi Kyoto.
“Friendship bracelets, ya?” tanyanya kemudian. Kedua bola matanya menatap penuh selidik ke arah kepalan tanganku.
“Ya.” Aku mengangguk, mengendurkan genggamanku. Kupandangi gelang yang kurajut sendiri. Pilu.
“Kenapa ada dua? Apakah belum kau berikan pada temanmu?” tanyanya lagi. Aku mendongak, menatap manik birunya yang masih diselimuti tanda tanya.
“Untukmu.”

***
Aku ingat perjumpaan pertama kita. Kau berjalan tergesa-gesa ke kelasmu, lalu kau menabrakku. Ah, tidak juga. Kuyakin kau tak sengaja. Kau membungkukkan badanmu. Raut wajahmu menyiratkan rasa bersalah yang mendalam. Kurasa, kau takut aku memarahimu. Dari situ, kutahu kau tak berasal dari negeriku.

Semakin hari, aku semakin tertarik padamu. Aku mengintaimu. Lalu, aku mulai menunggumu di bawah pohon meranggas yang entah apa namanya. Gigil. Tapi aku tetap menunggumu. Kemudian, kau keluar dengan ekspresi yang sama seperti yang kau tunjukkan ketika kali pertama berjumpa denganku. “Hei, tersenyumlah! Jangan takut, aku bukan monster,” ujarku kala itu.

            Ini benar-benar tak membantu. Tak berguna. Aku duduk di sini untuk menghindarinya. Mengusir segala kenangan tentangnya. Tapi, apa yang kudapatkan sekarang?

***
            “Hei, cinta itu tentang berbagi rasa sakit. Kau tahu itu, kan?”
            “Tentu saja aku tahu.”
            Dia, lelaki yang duduk di sampingku, menatapku lembut. Tatapannya begitu hangat. Selalu begitu.
            “Apa kau masih memikirkannya?”
            “Tentu saja. Bagaimana bisa dia memaksaku untuk bersaing dengan orang yang sudah lama mati?” jawabku. Dia mengangkat bahunya. Aku menghela napas. Berat.
            “Kau ingat friendship bracelets yang kuberikan padamu dua tahun yang lalu?” tanyaku kemudian. Dia mengangguk.
            “Itu bukan untukmu,” tukasku.
            “Aku tahu. Karena aku tahu itu bukan untukku, aku tak pernah memakainya. Kai-chan, sampai kapan kau akan membohongi dirimu sendiri?” Dia menghela napas, “Kalau kau menganggapku teman, cobalah untuk lebih jujur padaku. Bukannya aku memaksamu. Pun mengguruimu. Aku mengatakan ini karena aku peduli padamu.” Matanya menerawang jauh ke mataku. Mencoba menggali apapun tentangku lebih dalam lagi. Aku tahu itu. Aku bisa merasakannya.
            “Kau tenang saja. Aku tak akan membohongimu lagi.” Senyumuku mengembang. Lelaki di sampingku menautkan kedua alis tebalnya, menatapku dalam diam.

***

            Old Arbat Street, Moskow.
Tak ada yang berubah. Masih beku seperti hari-hari sebelumnya. Ah, dingin sekali di sini. Ingin ku segera lari ke Tokyo, lalu menemui Bibi Kyoto.
“Hoi!! Kai-chan!”
Aku menoleh. Dia datang. Dengan setelan jas musim dingin, ia melambai ke arahku, tepat di depan hiruk-pikuk Sashlik Mashlik.(2)
“Hoi! Kemarilah!” teriaknya.
Aku mengangguk, lalu berlari menghampirinya.
“Duduklah.”
“Huh?”
“Kau akan kulukis,” ujarnya. Tak lama, ia mengeluarkan senjata-senjatanya, lalu beralih ke arahku, “Berposelah! Ini akan jadi lukisan yang indah.”
Lagi, aku mengangguk, duduk di bangku kayu yang ia letakkan di depan restoran dan berpose seperti yang ia minta. Ini mencengangkan. Kutahu dia kuliah di fakultas seni rupa. Tapi kau tahu, ini kali pertama dia melukisku.
“Bagaimana menurutmu? Jalanan ini mengagumkan, kan?” ujarnya sembari melemparkan pandangannya ke arah orang-orang yang tengah mengerumuni pesulap jalanan, lalu kembali fokus ke kanvasnya.
“Tentu. Bahkan, telingaku dimanjakan oleh sekelompok pemusik muda yang menyanyikan Hey Jude.(3) Mereka luar biasa. Padahal kukira, di Rusia tak ada yang mau menyanyikan lagu-lagu dari barat.”
“Kau benar. Kebanyakan orang tua di Rusia memang tak mau menyanyikan lagu-lagu seperti itu. Tapi ternyata, generasi berikutnya tak berpikiran sama,” ucapnya, masih sibuk dengan kanvasnya. Aku bergeming, membiarkan telingaku bersuka cita dengan alunan musik yang menerobos gendang miliknya.
“Berapa lama lagi?” tanyaku. Sudah tigapuluh menit aku mengambrukkan pantatku di bangku ini. Terasa pegal, tapi begitu menyenangkan.
“Selesai,” lontarnya sembari menengok hasil akhir dari karyanya, lalu memanahkan matanya ke arahku, “Kau cantik,” lanjutnya.
Beku. Aku membeku. Dia.., dia menarikku ke dalam dekapannya.
“Maaf!” Aku melepas pelukannya.
 “Kenapa?”
“Aku harus mendengar langsung darinya.”
“Kenapa? Kenapa kau lebih memilih meninggalkan orang yang mencintaimu untuk orang yang bahkan tak pernah menganggap keberadaanmu?”
Aku terdiam. “Aku.., aku tak punya alasan. Bukankah cinta memang tak memerlukan alasan?” tukasku, berusaha membela diri.
Ia menghela napas, “Terserah. Ini. Kukembalikan padamu. Tolong berikan friend bracelet ini kepada pemiliknya. Terimakasih telah meminjamkannya kepadaku.”

***
Malam itu kau bilang padaku bahwa kau tak akan membohongiku lagi. Tapi malam berikutnya, aku datang padamu dengan setangkai mawar, dan kau membiarkannya layu. Mati bersama perasaanku. Kau meninggalkanku.

Aku tahu kau menyukai Yoshida-san. Menyukai lelaki yang bahkan tak menampakkan perasaannya padamu. Kau menyukainya, tapi tak mencintainya. Aku tahu itu. Aku bisa merasakannya. Hei, jangan memasang tampang kaget seperti itu! Wajahmu terlihat jelek sekali kalau begitu. Tenang saja, aku takkan mengganggumu. Pun takkan menyusulmu. Takkan menghalangi langkahmu.

Kau ingat Transsiberian? Film pertama yang kita tonton bersama? Ah, kuyakin kau mengingatnya. Aku ingin kita tak hanya menontonnya dalam bisu. Aku berharap kita punya lebih banyak waktu untuk duduk di salah satu bangkunya, lantas menikmati perjalanan dua benua dengan bercengkerama. Bahkan saat kutulis surat ini, aku merasa sangat bahagia hanya dengan membayangkannya saja. Aku ingin mendengarmu berkisah tentang dirimu. Tak melulu tentang kau yang bertanya bagaimana hidupku. Saat hari itu telah tiba, benar-benar giliranku untuk menginterogasimu.

Jika kau masih menganggapku sebagai temanmu, ikutlah denganku. Perjalanan ke Beijing di musim dingin lima tahun mendatang. Gunakan instingmu, juga imajinasimu. Kau tahu, aku membencimu. Pun begitu merindukanmu.

Ya tebya lobyu, Kai-chan.(4)

Ivanov Vladimir.

            Terlambat. Itu tepat setahun yang lalu. Bodoh. Kenapa aku harus terlambat untuk hal sepenting itu? Kuremat selembar kertas usang yang telah habis kubaca.
Ingatanku melayang di tahun pertama kepulanganku ke Tokyo. Seorang tukang pos datang padaku dengan kedua pipi bersemu merah. Dia bilang padaku bahwa yang dibawanya adalah surat cinta. Amplopnya cantik, berhiaskan lukisan Matryoshka(5) kesukaanku. Tapi, saat itu aku hanya diam. Tak genap lima detik setelah aku membaca nama pengirimnya, surat itu langsung kumasukkan ke saku kanan jas musim dinginku. Jas yang sama seperti yang kukenakan saat ini. Enam tahun aku mengabaikannya. Dan detik ini, aku terisak dibuatnya.
“Cukup! Jangan membiarkanku bersaing dengan orang yang sudah mati! Bagaimanapun, jika dibandingkan dengan dia, aku telah kalah. Telak. Ini tidak adil!” pekikku.
“Gadis yang sudah mati itu…, aku mencintainya. Kenapa mencintai gadis yang sudah mati dan masih hidup itu rasanya berbeda sekali? Seperti kau dan kakak sepupumu itu. Kau tahu kenapa hati dan fikiranku selalu terikat pada orang mati sepertinya?”
Aku menggeleng. Menunduk dalam bisu.
“Karena…, itulah yang dinamakan cinta. Tak pernah membutuhkan alasan untuk mengungkapkannya. Tapi aku.., mempunyai alasan dalam mencintaimu.”
“Apa?” tanyaku, menggigit bibir bagian bawahku. Ngilu.
“Aku mencintai Akira-chan yang ada di dalam dirimu. Aku mencintai Akira-chan…, melaluimu.”
Lagi, sekelebat kenangan tentang masa lalu, kembali menginjak-injak otakku. Perih. Yang kumiliki hanyalah Bibi Kyoto dan Akira-chan, kakak sepupuku. Dan dia.., meninggal sehari setelah bertunangan dengan Yoshida-san karena suatu penyakit yang tak akan kusebutkan.
Lalu, kuingat dia memintaku untuk menjaga Yoshidan-san. Tentu saja untuknya. Aku juga meneruskan keinginannya yang bercita-cita menjadi seorang dosen sastra Rusia. Aku tak tahu kenapa dia begitu terkesima pada Rusia, tapi aku berusaha keras untuk mewujudkannya. Ya, walaupun klimaksya aku malah kembali ke Tokyo dan menguapkan segala impian Akira-chan..

***
            Hari kedua puluh lima. Ini akan menjadi pengalaman yang teramat luar biasa jika aku duduk di sini bersamanya. Persis seperti harapannya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah tahun lalu Ivan juga duduk di sini seorang diri dan berharap aku menemuinya?
            Besok, kereta ini akan membawaku ke Beijing. Kota terakhir dari tur yang membuang lima ribu USD milikku. Setelah enam tahun, aku kembali ke St. Petersburg untuk menemuinya. Tapi, dia tak di sana. Aku meneleponnya, tapi nomornya tak lagi aktif. Lalu, aku memutuskan untuk membuangnya dari hidupku. Aku mengikuti tur dua benua untuk merontokkan segala ingatanku tentangnya. Tapi, aku malah bertemu dengan surat yang ia tulis untukku. Rencanaku berantakan. Kilasan balik masa lalu kami, kian berkobar di benakku seiring dengan Trans-Siberia yang melaju kencang.

***
            “Spasiba(6),” ucapnya ragu. Napasku tercekat. Apakah setahun ini dia menungguku di sana? Dia.., benarkah itu kau, Ivan?
            Aku menancapkan pandanganku padanya. Tak bisa berkata-kata. Dia tak pernah mengingkari janjinya, bahkan kepada pembohong sepertiku. Kulihat dia menenteng lukisan yang dulu ia buat untukku. Dia terlihat berbeda. Aku ingin menyapanya, lalu bertanya tentang keadaannya. Setelah semua perlakuanku padanya, aku tak bisa.
            “Hei, tersenyumlah! Jangan takut, aku bukan monster.” Setelah enam tahun, hanya kalimat itu yang mampu meloncat dari pita suaraku.

You gave me all your love, and all I gave you was goodbye

Footnote:
1.      Apa kabar (bahasa Rusia)
2.      Restoran masakan khas Turki di Old Arbart Street.
3.      Salah satu judul lagu dari The Beatles.
4.      Aku mencintaimu (bahasa Rusia)
5.      Boneka khas Rusia.
6.      Terimakasih (bahasa Rusia)

***

Tulungagung, 20 Maret 2015.
Cerpen ini terinspirasi dari lagu Back to December-Taylor Swift dan sedang diikutkan dalam #MyLoveStoryQuiz. 1500 kata sudah termasuk judul dan footnote.


Komentar

Postingan Populer