#latepost Cerpen Akhir Tahun

Kencan Pertama

“Kenapa kau mengejeknya seperti itu?” tanyaku.

“Aku tidak mengejeknya. Kau tahu, aku hanya sedang berpendapat,” jawabnya santai, ya,
seperti biasanya.

Aku bergeming, tak berniat melanjutkan segudang pertanyaan yang siap kuluncurkan. Ah, jika saja bukan itu jawabannya, kupastikan dia telah gelagapan meladeni pertanyaanku. Dia memang pandai jika urusan berdebat dan aku telah benar-benar kalah saat ia berkata, “Aku sedang berpendapat.”

Kau tahu, kaliamat itu adalah senjata pamungkasnya. Sekeras apapun usahamu untuk  bertanya, saat dia telah mengatakan tiga kata tersebut, kau hanya akan diajaknya kembali kejawaban semula. Hem.., hanya berputar-putar saja, tapi intinya tetap sama. Jadi, kusarankan pada kalian untuk diam saat dia telah berkata demikian.

“Sejak kapan kau tertarik pada dunia fashion?” tanyaku setelah mendapati majalah fashion di laci dashboard mobil miliknya.

“Sejak Conchita Wurst menjuari Eurovision 2014.” Matanya masih menatap lurus ke depan, fokus terhadap jalanan yang kami lewati.       

Kusibak lembar demi lembar CR Fashion Book yang kutemukan di laci dashboard mobil milik Archer. Ah, ini pasti milik gadis Manchaster yang begitu ia puja. Aktifitasku terhenti pada suatu halaman yang secara khusus menceritakan profil pemenang Eurovision Singing Contest 2014, kontes menyanyi terakbar seantero Eropa.  Dia berpenampilan anggun, mata cokelatnya begitu menyala, memikat siapapun yang menatapnya. Tapi…,

“Jadi ini alasan dibalik kalimat ejekan yang kau lontarkan terhadap penampilan Nona Wurst?” tanyaku setelah mendapati cambang yang masih bertengger manis di pipinya.

“Sudah kukatakan, aku tidak mengejeknya. Aku hanya sedang berpendapat. Berapa kali aku harus mengatakan hal ini padamu, huh?” jawabnya sekali lagi.

Hening. Hanya terdengar suara-suara kendaraan yang saling berpacu di jalanan licin yang baru saja dicumbu salju.

“Kalau saja ia mau mencukur cambangnya, kupastikan banyak lelaki yang akan jatuh hati padanya,” ujarnya membuka percakapan, setelah sekian menit kami saling menyelami dunia masing-masing dalam diam.

“Hahahahaa! Kau lucu sekali, Archer. Jangan bilang kau akan jatuh cinta padanya sesaat setelah ia mencukur cambangnya,” gurauku.

“Dia bukan tipeku,” tukasnya.

Malam ini, secara khusus, aku menemani Archer untuk menuntaskan misi agungnya. Ia akan mengajak calon kekasihnya untuk berkencan dengan berlayar menyeberangi Sungai Thames sembari menikmati the dinner cruise. Tak ada keberanian untuk menolak permintaan gilanya kali ini. Toh, selama ini, dia sudah banyak membantuku. Bahkan, saat aku ditendang  dari rumah orangtuaku, Archer pun dengan senang hati mengajakku untuk tinggal di flatnya sampai saat ini. Jadi, saat aku diminta untuk menyukseskan kencan pertamanya kali ini, why not?

“Menurutmu, apa yang membuatnya enggan mencukur cambang?” tanyanya lagi.

“Kurasa itu merupakan hal unik dalam dunia fashion.  Jadi dia mempertahankannya. Kau tahu, bahkan, Kate Moss pun pernah berfoto dengan wajah yang dihiasi oleh kumis dan berewok. Ah, ya, kau tahu America’s Next Top Model? Dalam salah satu episodenya, aku pernah melihat  dua peserta yang wajah cantiknya dihiasi berewok palsu. Jadi, jika yang terlahir sebagai wanita saja mau didandani sedemikian rupa, mengapa ia yang terlahir sebagai pria malah berniat untuk mencukur cambangnya? Kau tahu, selain suara emasnya, muka berewok Conchita Wurst adalah salah satu keunikan tersendiri yang sukses mencuri perhatian dunia. Tak ada salahnya untuk menjadi berbeda, kan?”

“Ya, ya, ya. Tapi, bagaimana jika ia mempertahankan cambangnya untuk memuaskan hasratnya  sebagai dua individu sekaligus? Sebagai seorang pria dan.., sebagai seorang wanita?” tanyanya lagi. Hah! Pertanyaan macam apa itu?

“Bisakah kita membicarakan hal lain? Tak asyik mendengar dua pria dewasa saling bersilat lidah untuk membahas seorang transgender. Lebih baik kita beralih ke topik lain saja. Membicarakan calon kekasihmu, mungkin?” Kudengar ia terbahak mendengar usulanku.

“Kau bisa menilai dirimu sendiri, kan? Jadi, untuk apa kita membicarakan calon kekasihku?” jawabnya ringan. Aku mengernyit.

Dia mendesah, “Kau masih tak menyadarinya, huh? Gadis mana yang mau berkencan dengan lelaki yang mengajak serta sahabat karibnya? Adakah gadis yang mau berkencan jika secara terang-terangan sang lelaki membawa serta orang ketiga?” Ia menatapku sekilas, “Darren, dengar,  aku mencintaimu. Kencan pertamaku, akan kuhabiskan denganmu.”

Tulungagung, 26 Desember 2015
Nb. Cerita ini juga saya post di blog pribadi saya di @sosardines


Komentar

Postingan Populer