#KabarDariJauh
Dua Bocah Kesayangan Mama
“Menyingkirlah
dariku!”
“Kau ini
kenapa?” tanyanya datar, lalu duduk di sampingku, seperti biasanya.
Aku
bosan mengulang-ulang adegan ini setiap hari. Sore yang mulanya akan kuhabiskan
dengan duduk tenang sembari menyeruput secangkir teh melati, terpaksa kulalui
dengan berdiri di atas kursi yang tadi kududuki. Selalu seperti itu. Lalu,
ketika wanita paruh baya yang duduk di sampingku mulai beranjak dari kursinya,
barulah aku bisa turun, kembali duduk, dan menghabiskan teh melatiku yang tak
lagi hangat.
Aku
pun benci ketika harus berteriak-teriak mengusir wanita paruh baya yang selalu
menghancurkan suasana soreku. Sering aku berfikir, bolehkah seorang anak
berteriak.., bahkan mengusir ibu kandungnya? Ah, tidak. Aku sama sekali tak
peduli tentang hal itu. Toh, diapun tak pernah marah saat aku berteriak dan
mengusirnya. Dia sama sepertiku. Sama sekali tak peduli.
“Ke
mana Ayahmu?” tanyanya gelisah, wajahnya pucat dengan napas yang memburu,
“Nadine.., Mama sudah…, tidak.., kuat lagi,” tukasnya.
Aku
berlari ke koridor, membiarkan para tenaga medis menangani Mama yang
kehamilannya bermasalah. Jemariku gemetar memegang ponsel. Kutelepon nomor
ponsel Ayahku, namun nihil. Tak ada jawaban di seberang sana. Kecemasanku
semakin memuncak. Ayahlah satu-satunya orang yang mampu menguatkan hati Mama
saat ini. Tapi.., di mana dia?
“Maaf,
permisi,” ucap seseorang dari arah belakang tubuhku.
Aku
berbalik, “Si.., sia.., siapa, Sus?” tanyaku dengan suara bergetar. Tuhan, jangan biarkan Mama ada di hadapanku
saat ini, kumohon.
Perawat berkacamata itu lantas membuka pelan kain putih yang menyelimuti
tubuh seseorang di hadapanku. Nyawaku serasa ikut dicabut ketika mengetahui dia
yang berbaring tak bernyawa di sana bukan Mamaku. Air mata yang tadi hanya
menggenang, kini terjun jua.
“Korban
kecelakaan,” ucap si perawat sambil mengembalikan keadaan kain putih itu ke
posisi semula, “Kami harus segera menghubungi keluarganya.”
“Ayah..,
kenapa harus Ayah? Jika Ayah diam saja di sini, siapa yang akan menemani Mama
melewati masa-masa sulit? Kenapa, Yah?” Aku kembali membuka kain putih yang
menutupi wajah pucat Ayahku. Tangisku pecah, sosok di hadapanku itu.., dia
benar-benar…, Ayahku.
Lagi.
Kenangan pahit setahun silam itu masih membayang-bayangiku. Bahkan, aku
tak menyadari bahwa yang kulakukan sejak tadi hanyalah berdiri di atas kursi
sembari memejamkan mata. Membiarkan kenangan-kenangan itu merasuki otak, lalu menyengat
ulu hatiku. Ngilu.
Kubuka
kedua mataku yang tadi sempat terkatup rapat. Kupandangi sekelilingku. Aman.
Entah sejak kapan, wanita itu telah menyingkir dariku. Aku tak peduli. Kini,
hanya ada aku di sini. Tentu saja, ditemani sang senja, secangkir teh melati,
dan.., kenangan yang masih meraung-raung di benakku.
“Dia
Ayahmu?” tanyanya kali ini, sorotan matanya penuh rasa iba.
Hah!
Mengapa ia masih menanyakan hal itu? Kenapa ia tak menyadarinya juga? Aku di
sini, di samping raga Ayahku yang telah kehilangan ruh, meronta-ronta, “Ayah..,
jangan pergi! Aku meminta Ayah datang kemari untuk mendampingi Mama di
masa-masa sulitnya. Tapi, kenapa Ayah malah datang kemari dengan menambah beban
di pundakku? Kumohon, bangunlah, Yah.”
Aku
tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku butuh pelukan. Mungkin.., mungkin Mama
bisa menenangkanku. Harusnya memang begitu. Aku meninggalkan ranjang Ayahku,
lalu berjalan tergesa ke kamar Mama.
“Hahahhaahaaa!
Kau bilang mereka mati? Yang benar saja, mereka ada dua! Anakku kembar! Kalian
dengar itu? Hahahaahhhaa!” Tawa Mama bergema di ruangan ini.
Wanita
paruh baya yang terduduk di ranjang itu, sesekali meronta-ronta. Lalu, tak lama
kemudian, ia terbahak keras sekali. Nyaris tanpa henti.
“Ma..,”
panggilku dengan suara parau.
“Nadine,
mendekatlah! Kemarilah!” pintanya.
“Ma,
Papa…” Rangkaian kata yang telah kusiapkan, tertahan begitu saja di ujung
lidah. Kelu.
“Sebentar
lagi kau akan punya adik. Langsung dua! Hahahahahaaaa!” bisiknya tepat di
telingaku, lantas terbahak lagi.
Aku
menatap Mama nanar, butiran bening itu kembali terurai tanpa bisa kucegah.
“Toksoplasma.(1)
Ibumu keguguran,” ucap Dokter itu kepadaku. Lirih, nyaris tak terdengar.
Semua
kenyataan ini menamparku. Menghempaskan tubuhku yang mendadak rapuh ke ngarai
kepedihan. Kulihat Mama masih saja meronta. Lalu, di samping kiri dan kanan
ranjangnya, kulihat dua orang perawat berusaha menenangkannya.
Samar-samar,
kudengar suara yang sontak membuyarkan lamunanku.
“Mereka
tidak mati. Kurasa, kedua bocah ini memang tak mau memiliki adik maupun Ayah.”
Wanita paruh baya itu sudah duduk di sampingku lagi. Entah sejak kapan. Ia
berbicara dan tertawa ringan pada dua bocah di pangkuannya, lalu mengecup
mereka tepat di kening keduanya.
Aku
tak keberatan jika semua orang di dunia ini mengaggapku sudah tak waras. Karena
aku memang gila saat sedang berhadapan dengan Mama. Aku tak pernah benar-benar
berteriak pada Mama. Kau tahu, setiap aku bertindak kasar kepadanya, saat itulah
aku hancur. Sejak setahun yang lalu, aku telah hancur setiap hari. Setiap saat
semakin hancur. Aku tak pernah membeci Mama. Sampai kapanpun, aku juga tak akan
pernah bisa membenci Mama. Aku tak pernah menghindari Mama, tak pernah pula
benar-benar mengusirnya. Aku hanya…, kau tahu, aku benci kepada dua bocah yang
teramat disayanginya. Bahkan, yang selama ini kuhindari hanyalah dua kucing
anggora yang telah mengubah kehidupanku dan juga Mama. Dua ekor kucing yang
selalu digendong Mama ke manapun ia pergi. Dua ekor kucing yang dianggap Mama
sebagai anak kandungnya.
“Menurut
Mama, kalian tak mau Mama membagi perhatian Mama ke orang lain, kan? Benar
begitu, Manis?” tanyanya pada dua bocah kesayangannya, sekaligus dua bocah yang
teramat kubenci.
Footnote:
(1) Toksoplasma adalah penyakit yang diakibatkan oleh parasit Toksoplasma gondii, yang dapat
ditularkan oleh kucing. Berdasarkan penelitian-penelitian, jika ibu
hamil terkena Taksoplasma kemungkinan terbesar yakni 40% ketika melahirkan
janinnya akan terinfeksi, dan kemungkinan kedua dengan presentase 17% akan
mengalami abortus atau kelahiran dini. Untuk bayi yang dilahirkan kemungkinan
besar sekitar 90% akan lahir dengan normal tapi akan ada kemungkinan menderita
gangguan penglihatan atau lebih buruk buta, setelah beberapa bulan atau tahun
setelah dilahirkan. Kemungkinan lainnya dengan presentase 10% bayi akan
menderita gangguan pendengaran.
Cerpen ini diikutkan di tantangan @kampusfiksi. 909 kata sudah termasuk footnote.
Tulungagung, 4 Januari 2015.
Komentar
Posting Komentar